Konsep sebuah pasangan harus meniru garam. Sisi buruk yang tidak menyenangkan bisa menjadi simpul dari sebuah ikatan yang mempersatukan.
Diceritakan, ada seorang dosen memberi wawasan unik tentang perjodohan kepada mahasiswanya. “Kamu tidak akan mendapatkan pasangan hidupmu sebelum kenal benar siapa dirimu!”
“Bagaimana kita mengenal diri sendiri?” tanya mahasiswa.
“Berdirilah engkau di depan sebuah cermin. Tataplah dirimu baik-baik di dalam kaca. Bila engkau mendapatkannya sebagai lelaki, jodohmu adalah wanita. Begitu pun sebaliknya,” jawab Pak Dosen.
“Apa tanda-tandanya bahwa kita itu lelaki atau wanita?,” tanya mahasiswa.
“Mudah saja,” jawab Pak Dosen. “Kamu lelaki bila sifat-sifat Jalaliyah Allah beremayam di dalam dirimu. Dan kamu wanita bila sifat-sifat jamaliyah-Nya turun menghiasi dirimu.”
“Jadi, di dalam perjodohan kami ini disyaratkan memadukan sifat-sifat Jalaliyah dan Jamaliyah tersebut?” tanya mahasiswa.
“Persis! Dan bila engkau berhasil memadukan keduanya, akan turun dalam dirimu sifat-sifat Kamaliyah-Nya, yaitu, satu sifat yang dengannya, setiap insan boleh menyentuh sesuatu di alam raya ini tanpa menimbulkan kerusakan.”
“Ada kalangan yang berpendapat bahwa wadat (tidak menikah) merupakan sarana kesucian. Bagaimana pendapat Bapak?” tanya mahasiswa.
“Kesucian itu baru merupakan sarana dalam berhubungan dengan manusia, bukan tujuan. Kesucian itu harus dimiliki pihak lelaki maupun pihak wanita dalam mencari pasangannya, bukan untuk hidup sendiri-sendiri. Setelah berhasil memadukan keduanya tanpa benturan, bahkan saling dapat mengembangkan, barulah dapat dikatakan sempurna namanya,” ungkap Pak Dosen.
“Kalau begitu, nikha lebih mulia daripada wadat. Begitu, kesimpulan Bapak?”
“Jelas, karena jikalau tidak demikian menikah tidak akan dijadikan landasan moral sunnah Rasul kita.
Apa yang dapat kita harapkan dari kehidupan di bumi, jika golongan yang kaya tidak mau menjamah golongan miskin, kemudian orang pintar menjauh dari orang awam, para penguasa tak peduli dengan rakyat yang dikuasai, bangsa super power tidak mengulurkan tangan dan bahkan mau memangsa bangsa yang lemah?” tuturnya kembali.
“Kok sampai disana!” timpal mahasiswa.
“Mengapa tidak! Untuk mengetahui kebenaran yang terkecil, harus diuji dengan memproyeksikannya pada sesuatu yang besar,” jawab Pak Dosen sambil tersenyum.
**
Kisah ini dikutip dari buku Langit-Langit Desa karya Muhammad Zuhri. Sederhana memang, namun isinya sangat dalam dan sarat makna. Ada satu pesan inti dalam kisah ini, bahwa kita hanya mungkin menacapai “kesempurnaan”, jika kita mau bersatu dengan pasangan kita. Inilah fitrah yang ditetapkan Allah SWT atas manusia, bahkan atas semesta. Allah SWT berfirman, “dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” (QS Adz-Dzariyaat [51] : 49).
Mengapa harus berpasang-pasangan?
Ada banyak alternatif jawaban. Namun yang pasti, dengan berpasangan (yang sah tentunya) nilia-nilai kebaikan bisa terpadu menjadi sebuah kesempurnaan. Dengan berpasangan, akan tercipta pula proses sinergi, saling melengkapi, dan saling meniadakan keburukan.
Mari kita belajar pada garam. Garam, yang bahasa kerennya NaCL atau natrium klorida, adalah persatuan antar unsur natrium dan klorida. Sejatinya, kedua unsur ini jarang berdiri sendiri. Mereka bisa bersatu karena “dicomblangi” oleh air sebagai mediator. Ketika masih sendiri, klorida termasuk unsur berbahaya bagi tubuh, biasanya berbentuk asam (HCL). Demikian pula natrium karbonat, walaupun tidak seberbahaya HCL.
Namun, ketika natrium dan klorida dipertemukan dengan mediasi air, masing-masing melepaskan ikatan dengan pasangannya terdahulu, kemudian mereka saling berikatan membentuk kristal. Jika sebuah ikatan kimia sampai membentuk kristal, tingkat kecocokannya pasti sangat tinggi, dari fase likuid sampai menjadi solid dan terkristalisasi. Ikatan keduanya termasuk ikatan yang sempurna. Dengan karakter ini, ada sisi-sisi secara molekuler baik dari sebelah natrium maupun sebelah klorida yang awalnya memiliki efek mebahayakan atau membentuk asam, menjadi hilang. Sebab, sisi-sisi “negatifnya” saling menutup, dan yang terlihat adalah sisi-sisi indahnya, sisi positifnya.
Jadi, konsep pasangan harus meniru garam. Sisi-sisi buruk yang tidak menyenangkan bisa menjadi simpul dari sebuah ikatan yang mempersatukan, untuk kemudian menghasilkan sebuah molekul yang indah serta memancarkan kebaikan. Kelemahan yang ada bukan untuk disesali atau dicemooh, tapi dimanfaatkan untuk berikatan. Inilah gambaran sederhana. Saling mengoptimalkan potensi dan saling mengurangi kekurangan.
Sesungguhnya, natrium yang ada di darah kita harus bertemu dengan pasangannya agar tidak menimbulkan penyakit. Salah satu penyebab terjadinya darah tinggi dan stroke adalah ketika natrium tidak lagi berpasangan dengan klorida.
Diceritakan, ada seorang dosen memberi wawasan unik tentang perjodohan kepada mahasiswanya. “Kamu tidak akan mendapatkan pasangan hidupmu sebelum kenal benar siapa dirimu!”
“Bagaimana kita mengenal diri sendiri?” tanya mahasiswa.
“Berdirilah engkau di depan sebuah cermin. Tataplah dirimu baik-baik di dalam kaca. Bila engkau mendapatkannya sebagai lelaki, jodohmu adalah wanita. Begitu pun sebaliknya,” jawab Pak Dosen.
“Apa tanda-tandanya bahwa kita itu lelaki atau wanita?,” tanya mahasiswa.
“Mudah saja,” jawab Pak Dosen. “Kamu lelaki bila sifat-sifat Jalaliyah Allah beremayam di dalam dirimu. Dan kamu wanita bila sifat-sifat jamaliyah-Nya turun menghiasi dirimu.”
“Jadi, di dalam perjodohan kami ini disyaratkan memadukan sifat-sifat Jalaliyah dan Jamaliyah tersebut?” tanya mahasiswa.
“Persis! Dan bila engkau berhasil memadukan keduanya, akan turun dalam dirimu sifat-sifat Kamaliyah-Nya, yaitu, satu sifat yang dengannya, setiap insan boleh menyentuh sesuatu di alam raya ini tanpa menimbulkan kerusakan.”
“Ada kalangan yang berpendapat bahwa wadat (tidak menikah) merupakan sarana kesucian. Bagaimana pendapat Bapak?” tanya mahasiswa.
“Kesucian itu baru merupakan sarana dalam berhubungan dengan manusia, bukan tujuan. Kesucian itu harus dimiliki pihak lelaki maupun pihak wanita dalam mencari pasangannya, bukan untuk hidup sendiri-sendiri. Setelah berhasil memadukan keduanya tanpa benturan, bahkan saling dapat mengembangkan, barulah dapat dikatakan sempurna namanya,” ungkap Pak Dosen.
“Kalau begitu, nikha lebih mulia daripada wadat. Begitu, kesimpulan Bapak?”
“Jelas, karena jikalau tidak demikian menikah tidak akan dijadikan landasan moral sunnah Rasul kita.
Apa yang dapat kita harapkan dari kehidupan di bumi, jika golongan yang kaya tidak mau menjamah golongan miskin, kemudian orang pintar menjauh dari orang awam, para penguasa tak peduli dengan rakyat yang dikuasai, bangsa super power tidak mengulurkan tangan dan bahkan mau memangsa bangsa yang lemah?” tuturnya kembali.
“Kok sampai disana!” timpal mahasiswa.
“Mengapa tidak! Untuk mengetahui kebenaran yang terkecil, harus diuji dengan memproyeksikannya pada sesuatu yang besar,” jawab Pak Dosen sambil tersenyum.
**
Kisah ini dikutip dari buku Langit-Langit Desa karya Muhammad Zuhri. Sederhana memang, namun isinya sangat dalam dan sarat makna. Ada satu pesan inti dalam kisah ini, bahwa kita hanya mungkin menacapai “kesempurnaan”, jika kita mau bersatu dengan pasangan kita. Inilah fitrah yang ditetapkan Allah SWT atas manusia, bahkan atas semesta. Allah SWT berfirman, “dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” (QS Adz-Dzariyaat [51] : 49).
Mengapa harus berpasang-pasangan?
Ada banyak alternatif jawaban. Namun yang pasti, dengan berpasangan (yang sah tentunya) nilia-nilai kebaikan bisa terpadu menjadi sebuah kesempurnaan. Dengan berpasangan, akan tercipta pula proses sinergi, saling melengkapi, dan saling meniadakan keburukan.
Mari kita belajar pada garam. Garam, yang bahasa kerennya NaCL atau natrium klorida, adalah persatuan antar unsur natrium dan klorida. Sejatinya, kedua unsur ini jarang berdiri sendiri. Mereka bisa bersatu karena “dicomblangi” oleh air sebagai mediator. Ketika masih sendiri, klorida termasuk unsur berbahaya bagi tubuh, biasanya berbentuk asam (HCL). Demikian pula natrium karbonat, walaupun tidak seberbahaya HCL.
Namun, ketika natrium dan klorida dipertemukan dengan mediasi air, masing-masing melepaskan ikatan dengan pasangannya terdahulu, kemudian mereka saling berikatan membentuk kristal. Jika sebuah ikatan kimia sampai membentuk kristal, tingkat kecocokannya pasti sangat tinggi, dari fase likuid sampai menjadi solid dan terkristalisasi. Ikatan keduanya termasuk ikatan yang sempurna. Dengan karakter ini, ada sisi-sisi secara molekuler baik dari sebelah natrium maupun sebelah klorida yang awalnya memiliki efek mebahayakan atau membentuk asam, menjadi hilang. Sebab, sisi-sisi “negatifnya” saling menutup, dan yang terlihat adalah sisi-sisi indahnya, sisi positifnya.
Jadi, konsep pasangan harus meniru garam. Sisi-sisi buruk yang tidak menyenangkan bisa menjadi simpul dari sebuah ikatan yang mempersatukan, untuk kemudian menghasilkan sebuah molekul yang indah serta memancarkan kebaikan. Kelemahan yang ada bukan untuk disesali atau dicemooh, tapi dimanfaatkan untuk berikatan. Inilah gambaran sederhana. Saling mengoptimalkan potensi dan saling mengurangi kekurangan.
Sesungguhnya, natrium yang ada di darah kita harus bertemu dengan pasangannya agar tidak menimbulkan penyakit. Salah satu penyebab terjadinya darah tinggi dan stroke adalah ketika natrium tidak lagi berpasangan dengan klorida.
Sumber :
Buku : "Ajaib bin Aneh : Jadi Insan Segala Tahu"
Komentar
Posting Komentar