Kebetulan terjadi ketika kita membuka folder tersebut dan orang lain pun membuka folder yang sama.
Pada 1898, jauh sebelum tenggelamnya kapal Titanic, Morgan Robertson menulis sebuah novel berjudul Futility. Kisah fiktif yang ditulisnya memiliki kemiripan yang luar biasa dengan tenggelamnya kapal Titanic pada 1912. Nama kapal dan berat, serta sekoci-sekocinya pun mirip sekali. Dalam novel tersebut, Morgan menamainya Titan, sedangkan yang “asli” bernama Titanic. Berat Titan 70.000 ton, sedangkan Titanic 66.000 ton. Titan memiliki 24 sekoci, sedangkan Titanic 20, padahal yang direncanakan 40. Pemilik Titan dilukiskan sebagai orang angkuh. Kenyataannya, pemilik Titanic pun demikian. Apakah ini sebuah kebetulan?
Ketika berhadapan dengan sebuah kejadian, biasanya ada dua respons yang kita berikan. Pertama, menilainya sebagai kejadian yang direncanakan. Kedua, menilainya sebagai kejadian yang tidak direncanakan alias “kebetulan”. Tentunya, kita sangat meyakini bahwa segala kejadian ada dalam kekuasaan dan rencana Allah SWT. Meskipun demikian, kita tidak tahu rencana Allah itu seperti apa, serta bagaimana proses menjalankannya. Inilah yang harus kita pelajari dan kita pahami.
Untuk memahami fenomena “kebetulan” ini, ada dua hipotesis yang bisa kita ajukan. Pertama, kebetulan terjadi karena adanya daya dukung lingkungan. Saat terjadi perubahan cuaca misalnya, ketika itu, udara bertambah panas, hujan tidak turun, kekeringan pun terjadi di mana-mana. Efeknya, orang-orang jadi tertarik membaca buku tentang meteorologi dan fenomen-fenomena alam lainnya. Padahal, sebelum itu mereka tidak tertarik pada isu-isu tersebut. Pada saat yang sama, orang-orang pun melakukan hal serupa. Nah, kita bertemu, mereka berkata, “Eh kebetulan ya kita juga sedang baca buku A”. Artinya, kondisi setiap orang mendorongnya melakukan hal yang sama.
Dengan kata lain, kesamaan motif biasanya akan mendorong orang untuk melakukan hal yang sama, sehingga mereka terkondisikan. Ketika terjadi kelangkaan BBM (bahan bakar minyak), sebagian orang jadi meneliti tentang bahan bakar alternatif, atau setidak-tidaknya jadi tertarik dengan isu-isu seputar kelangkaan BBM. Ketika terjadi tsunami di Aceh, perhatian semua orang terfokus pada tsunami. “Tanpa direncanakan pun”, ketika bertemu mereka akan membahas masalah serupa.
Bagaimana jika tidak dikondisikan? Misalnya, karena tugas kuliah yang menumpuk, kita merasa stress. Akibatnya, “iseng-iseng” kita membaca literatur tentang stress. Tidak lama kemudian seorang teman mengajak kita mengikuti seminar tentang kesehatan mental. Ternyata, panelis memaparkan teori-teori tentang stres. Apakah ini kebetulan? Sesunggunya, pilihan untuk membaca literatur tentang stres ada dalam kontrol kita. Hal yang tidak bisa dikontrol adalah mengapa teman tadi mengajak kita ikut seminar, bukan mengajak temannya yang lain. Mengapa pula panelisnya membahas masalah sters. Fenomena “kebetulan” yang ini tidak bisa dijelaskan hipotesis pertama. Di sinilah hipotesis kedua kita ajukan.
Dalam ilmu matematika modern dikenal sebuah model tentang simetri alam semesta. Menurut model ini, alam semesta terhimpit di dalam satu titik. Akibatnya, memori setiap orang bisa saling bertemu. Carl Gustav Jung, seorang pemikir dalam bidang Psikologi menyebutnya sebagai kesadaran kolektif, yaitu semacam kesadaran akan sesuatu yang kemudian disadari pula oleh orang lain, sehingga membentuk sebuah pola dalam masyarakat. Inilah tempat penyimpanan segala kebijaksanaan dan pengalaman umat manusia. Di sanalah, semua pikiran seolah berinteraksi. Bentuknya bisa berupa sinergi, pikiran kita saling menguatkan dengan pikiran orang-orang yang ada di sekitar. Bisa berupa konjungsi, seolah-olah nasib kita bertemu dengan nasib orang lian, seperti overlaping. Bisa pula berbentuk interferensi, pikiran kita saling melemahkan, saling mengganggu, dan meniadakan seperti halnya pikiran negatif.
Di manakah kesadaran kolektif ini berada? Tidak ada yang tahu pasti di mana tempatnya, termasuk Jung sendiri. Merujuk model simetri, boleh jadi titik terhimpit itulah, yang berada di dimensi lain tempat pertemuannya. Di sana, setiap manusia memiliki “folder-folder” khusus tempat menyimpan memorinya. Kebetulan adalah ketika kita membuka folder tersebut dan orang lain pun membuka folder yang sama. Inilah kekuasaan Allah SWT yang tidak bisa kita pahami namun bisa dijelaskan.
Hipotesis ketiga adalah dengan menggunakan konfigurasi faktor fisika. Sesungguhnya, fungsi spin partikel sangat dipengaruhi oleh faktor pikiran. Kita menyebutnya sebagai bioelektrik atau karakter yang membentuk medan dalam empat gaya elemeter alam semesta. Ada sesuatu di dimensi fisik manusia, di mana karakter-karakter itu tidak berlaku dan ia bisa disimpan. Jika kita mampu menarik kembali simpanan di sana, atau menjalani rencana yang telah digariskan di dalamnya, kita bisa mengalami hal-hal “luar biasa” yang kerap berada di luar tangan kita.
Sesungguhnya, tidak ada “kebetulan”. Semua yang terjadi mutlak ada dalam rencana dan pengetahuan Allah SWT. Ilmu kita saja yang terbatas, sehingga lahir fenomena kebetulan.
Pada 1898, jauh sebelum tenggelamnya kapal Titanic, Morgan Robertson menulis sebuah novel berjudul Futility. Kisah fiktif yang ditulisnya memiliki kemiripan yang luar biasa dengan tenggelamnya kapal Titanic pada 1912. Nama kapal dan berat, serta sekoci-sekocinya pun mirip sekali. Dalam novel tersebut, Morgan menamainya Titan, sedangkan yang “asli” bernama Titanic. Berat Titan 70.000 ton, sedangkan Titanic 66.000 ton. Titan memiliki 24 sekoci, sedangkan Titanic 20, padahal yang direncanakan 40. Pemilik Titan dilukiskan sebagai orang angkuh. Kenyataannya, pemilik Titanic pun demikian. Apakah ini sebuah kebetulan?
Ketika berhadapan dengan sebuah kejadian, biasanya ada dua respons yang kita berikan. Pertama, menilainya sebagai kejadian yang direncanakan. Kedua, menilainya sebagai kejadian yang tidak direncanakan alias “kebetulan”. Tentunya, kita sangat meyakini bahwa segala kejadian ada dalam kekuasaan dan rencana Allah SWT. Meskipun demikian, kita tidak tahu rencana Allah itu seperti apa, serta bagaimana proses menjalankannya. Inilah yang harus kita pelajari dan kita pahami.
Untuk memahami fenomena “kebetulan” ini, ada dua hipotesis yang bisa kita ajukan. Pertama, kebetulan terjadi karena adanya daya dukung lingkungan. Saat terjadi perubahan cuaca misalnya, ketika itu, udara bertambah panas, hujan tidak turun, kekeringan pun terjadi di mana-mana. Efeknya, orang-orang jadi tertarik membaca buku tentang meteorologi dan fenomen-fenomena alam lainnya. Padahal, sebelum itu mereka tidak tertarik pada isu-isu tersebut. Pada saat yang sama, orang-orang pun melakukan hal serupa. Nah, kita bertemu, mereka berkata, “Eh kebetulan ya kita juga sedang baca buku A”. Artinya, kondisi setiap orang mendorongnya melakukan hal yang sama.
Dengan kata lain, kesamaan motif biasanya akan mendorong orang untuk melakukan hal yang sama, sehingga mereka terkondisikan. Ketika terjadi kelangkaan BBM (bahan bakar minyak), sebagian orang jadi meneliti tentang bahan bakar alternatif, atau setidak-tidaknya jadi tertarik dengan isu-isu seputar kelangkaan BBM. Ketika terjadi tsunami di Aceh, perhatian semua orang terfokus pada tsunami. “Tanpa direncanakan pun”, ketika bertemu mereka akan membahas masalah serupa.
Bagaimana jika tidak dikondisikan? Misalnya, karena tugas kuliah yang menumpuk, kita merasa stress. Akibatnya, “iseng-iseng” kita membaca literatur tentang stress. Tidak lama kemudian seorang teman mengajak kita mengikuti seminar tentang kesehatan mental. Ternyata, panelis memaparkan teori-teori tentang stres. Apakah ini kebetulan? Sesunggunya, pilihan untuk membaca literatur tentang stres ada dalam kontrol kita. Hal yang tidak bisa dikontrol adalah mengapa teman tadi mengajak kita ikut seminar, bukan mengajak temannya yang lain. Mengapa pula panelisnya membahas masalah sters. Fenomena “kebetulan” yang ini tidak bisa dijelaskan hipotesis pertama. Di sinilah hipotesis kedua kita ajukan.
Dalam ilmu matematika modern dikenal sebuah model tentang simetri alam semesta. Menurut model ini, alam semesta terhimpit di dalam satu titik. Akibatnya, memori setiap orang bisa saling bertemu. Carl Gustav Jung, seorang pemikir dalam bidang Psikologi menyebutnya sebagai kesadaran kolektif, yaitu semacam kesadaran akan sesuatu yang kemudian disadari pula oleh orang lain, sehingga membentuk sebuah pola dalam masyarakat. Inilah tempat penyimpanan segala kebijaksanaan dan pengalaman umat manusia. Di sanalah, semua pikiran seolah berinteraksi. Bentuknya bisa berupa sinergi, pikiran kita saling menguatkan dengan pikiran orang-orang yang ada di sekitar. Bisa berupa konjungsi, seolah-olah nasib kita bertemu dengan nasib orang lian, seperti overlaping. Bisa pula berbentuk interferensi, pikiran kita saling melemahkan, saling mengganggu, dan meniadakan seperti halnya pikiran negatif.
Di manakah kesadaran kolektif ini berada? Tidak ada yang tahu pasti di mana tempatnya, termasuk Jung sendiri. Merujuk model simetri, boleh jadi titik terhimpit itulah, yang berada di dimensi lain tempat pertemuannya. Di sana, setiap manusia memiliki “folder-folder” khusus tempat menyimpan memorinya. Kebetulan adalah ketika kita membuka folder tersebut dan orang lain pun membuka folder yang sama. Inilah kekuasaan Allah SWT yang tidak bisa kita pahami namun bisa dijelaskan.
Hipotesis ketiga adalah dengan menggunakan konfigurasi faktor fisika. Sesungguhnya, fungsi spin partikel sangat dipengaruhi oleh faktor pikiran. Kita menyebutnya sebagai bioelektrik atau karakter yang membentuk medan dalam empat gaya elemeter alam semesta. Ada sesuatu di dimensi fisik manusia, di mana karakter-karakter itu tidak berlaku dan ia bisa disimpan. Jika kita mampu menarik kembali simpanan di sana, atau menjalani rencana yang telah digariskan di dalamnya, kita bisa mengalami hal-hal “luar biasa” yang kerap berada di luar tangan kita.
Sesungguhnya, tidak ada “kebetulan”. Semua yang terjadi mutlak ada dalam rencana dan pengetahuan Allah SWT. Ilmu kita saja yang terbatas, sehingga lahir fenomena kebetulan.
Sumber :
Buku : “Ajaib bin Aneh : Jadi Insan Segala Tahu”
Komentar
Posting Komentar