“Setinggi kemuliaan yang kita
harapkan, sebesar itu pulalah pengorbanan dan perjuangan yang harus dilakukan.”
Ketika mendengar nama Imam Ahmad,
kita akan terpesona akan keilmuan beliau yang teramat luas, kecerdasan yang
mengagumkan, keteguhan hati yang menakjubkan, ibadah yang luar biasa, akhlak
luhur yang jauh di atas rata-rata, serta nilai plus lainnya. Kita seakan-akan
lupa, bagaimana Imam Ahmad bepergian jauh ke berbagai negeri, menimba ilmu dari
sekian banyak guru, disiksa oleh Al-Makmun, bahkan dipenjara demi memegang
teguh akidahnya.
Ketika mendengar nama Dahlan
Iskan, kita akan menilai beliau adalah orang yang sukses, mengelola Jawa Pos
dengan sangat apik, lantas mengangkat PLN meraih berbagai macam pujian,
hingga akhirnya diangkat SBY menjadi Menteri BUMN. Kita seolah-olah lupa,
bagaimana dahulu beliau semasa kecil berjalansekian kilometer tanpa alas kaki
menuju sekolah, hanya memiliki dua helai baju, bahkan pernah sekali terpaksa
mencuri tebu untuk adiknya yang meringis menahan lapar.
Begitulah manusia. Kita kerap
kali terbuai, terpukau, takjub dan terpesona, dengan kesuksesan orang sukses,
dengan keilmuan orang yang berilmu, kekayaan orang yang kaya, tanpa mau menilik
sejenak bagaimana mereka meraih semua itu. Kita lebih memilih terkagum-kagum
melihat majelis Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah yang dihadiri oleh
ribuan Jemaah, dibandingkan dengan merenungi bahwa dahulu yang hadir di majelis
beliau hanya satu-dua orang saja. Kita lebih memilih berdecak kagum mengetahui kekayaan Bill Gates yang
pernah menjadi manusia terkaya di dunia, daripada memikirkan bahwa dulu ia
sering tidur dalam seminggu hanya 8 jam saja. Salahkah? Tidak. Tapi, hal
tersebut bisa menimbulkan kecintaan kita kepada hasil, bukan kepada proses.
Tergiur dengan kekayaan orang kaya kerap kali menggiring jiwa manusia untuk
melakukan jalan pintas yang tiada pantas. Mereka melakukan hal instan untuk
meraup kesuksesan. Alhasil, hasil menutup mata hatinya sehingga mereka berani
mendobrak larangan Allah. Tak heran jika korupsi masih begitu menjadi trendi di
negeri ini.
Terkagum dengan keilmuan seorang alim kadang kali memotivasi kita untuk
menjadi seperti mereka. Hal ini bagus, namun jangan hanya mengharapkan hasil,
tapi cintailah proses! Jika kita tidak mencintai proses, dapat dipastikan sebelum
mencapai puncak, kita akan putus asa dan berbalik mundur ke belakang. Jika hati
tak mencintai proses, maka seseorang mudah terjerumus ke dalam hal-hal tak
terpuji. Ia mudah jenuh, bosan, penat, menjalani proses yang begitu panjang. Padahal...
tiada kesuksesan yang didapat hanya dengan sehari semalam.
Imam Syafi’i, menggapai takhta tertinggi di dalam bidang keilmuan tak terlepas
dari proses yang panjang. Sejak kecil, ibu beilau menyuruhnya berguru kepada
para ulama. Bagaimana beliau begadang untuk belajar, membaca, menulis, dan
begitulah seterusnya. Jika Imam Syafi’i tidak emncintai proses belajar yang
begitu panjang, niscaya beliau tidak menjadi seperti yang kita kenal sekarang.
Jangan tergesa-gesa meraih hasilnya. Jika petani berputus asa dan urung
memupuk benihnya, maka tanamannya tidak akan tumbuh. Aneh memang, kita ingni
menjadi orang kaya yang sukses tapi enggan mengikuti proses yang mereka
lakukan. Kita ingin mendapat kemuliaan tapi bosan untuk mengikuti jalan yang
tekah mereka tempuh. Kata Nabi, ilmu itu dengan belajar. Tidak seperti Wiro
Sableng yang mendapat seluruh ilmu dari gurunya hanya dengan disentuh pundaknya
dengan kedua telapak tangan. Tiada yang instan. Bahkan mi yang mengaku instan
pun butuh proses, bukan?
Setinggi kemuliaan yang kita harapkan, sebesar itu pulalah pengorbanan dan
perjuangan yang harus dilakukan. Berbeda hasilnya dengan orang yang menelusuri
jalan menuju sukses dengan mencintai setiap proses yang ia lakukan dan orang
yang menjalaninya dengan setengah hati dan hanya mengangankan hasilnya.
Ketika kita mendaki gunung, maka cintailah tiap langkah menaklukan tanah
yang terjal. Ketika kita ingin meraih lezatnya beribadah, maka cintailah setiap
ibadah yang kita lakukan sepanjang siang dan malam. Ketika kita ingin menjadi
seorang yang berilmu, maka cintailah saat-saat kita duduk di majelis menimba
ilmu, membolak-balikkan halaman buku. Ketika kita ingin menjadi penduduk surga,
maka cintailah setiap langkah yang kita titi di jalan menuju surga.
Sumber : Buku "Jika Ustaz Jadi Wasit"
Komentar
Posting Komentar